Selepasku
ku lulus Sekolah Dasar, aku masih bimbang kemana aku akan melanjutkan sekolah
ku. Kedua orang tua ku sudah jelas, mereka menginginkan ku masuk pondok
pesantren. Namun saat itu, aku masih merasa belum sanggup untuk berjauhan lama
dari orant tua ku. Akhirnya aku pun mencoba mendaftar ke salah satu SMP favorit
di kota ku. Hanya dengan menyerahkan hasil nem ujian nasional ku, aku pun lolos
dan dinyatakan di terima di SMP tersebut. Tapi kedua orang tua ku tidak
menghiraukan hal tersebut, karena mereka tetap ingin aku masuk pondok
pesantren. Saat itu aku sampai menangis dan terus menolak agar tidak di masukan
ke pondok pesantren. Walaupun begitu kedua orang tua ku tak putus asa dan terus
merayu ku agar aku menuruti kemauan keduanya, karena itu semua demi kebaikanku.
Buya, umi, termasuk engkong dan encing selalu menasihatiku dan meyakinkan ku
bahwa di pondok pesantren adalah tempat yang lebih baik untukku. Dan aku pun
tak sanggup lagi untuk menolak keinginan mereka, aku mengiyakan bahwa aku mau
masuk pondok pesantren. Sejak saat itu buya lebih rajin lagi memeriksa bacaan
dan hafalan Al-Qur’an ku. Tak lama kemudian, buya pun meminta ku untuk
bersiap-siap untuk melakukan test masuk pondok pesantren. Pondok pesantren
tersebut terletak di daerah Ciledug dan masih terbilang baru, karena baru
berdiri sejak tiga tahun yang lalu dan itu pun hanya baru ada santri putra
saja. Jadi tahun itu aku termasuk ke dalam angkatan pertama untuk santri
putrinya. Test masuk pesantren dilakukan dalam satu hari full, mulai dari jam 7
pagi sampai jam 5 sore. Test yang di lakukan ada cukup banyak, dari mulai test
akademik, keagamaan, psikotest, wawancara, kemampuan berbahasa Arab-Inggris,
dan juga test tahfizh. Test tersebut dilaksanakan pada hari jum’at, pada saat
test aku didampingi buya, dan pada hari itu juga buya memiliki jadwal mengisi
khutbah jum’at di masjid yang cukup jauh dari pondok pesantren, hingga akhirnya
buya pun meninggalkan ku untuk melaksanakan tanggung jawabnya yang lain. Ketika
aku sedang mengerjakan soal test, buya izin kepada ku untuk pergi menuju masjid
karena lokasi masjidnya cukup jauh dari pondok pesantren. Akupun pasti
mengiyakan walau sebenarnya aku merasa takut ditinggal sendirian di tempat yang
asing untukku. Belum ada satu orangpun yang aku kenal di tempat itu, dan aku
bukanlah tipe orang yang pandai untuk memulai suatu obrolan dengan orang yang
belum aku kenal. Lalu ada seorang ustadz yang menghampiri ku, mungkin beliau
melihat wajahku yang mulai bersedih. Beliau berkata, “ga usah sedih, nanti juga
bapak (buya) kembali”. Aku pun tersipu malu dan berusaha untuk menyembunyikan
rasa sedihku.
Waktu
untuk persiapan sholat jum’at tiba, dan test pun dihentikan sejenak untuk
sholat dan makan siang. Para laki-laki menuju masjid, sedangkan para wanita
menuju majlis pondok pesantren. Aku ingat, ketika di majlis aku melihat Nanda
(sahabatku) bersama ibunya, sedangkan aku hanya duduk sendirian. Setelah sholat
kami pun kembali ke kelas untuk melanjutkan test. Ketika test wawancara, aku
melihat sosok seseorang yang terlihat begitu jutek, dalam hati ku aku berkata,
“Ya Alloh, nanti Ikis ga mau sekamar sama dia Ya Alloh”. Dia adalah Sabihisma
yang sekarang juga malah menjadi sahabatku, ternyata penilaianku salah. Begitu
banyak test yang dilakukan, aku masih menantikan kehadiran buya kembali yang
masih dalam perjalanan dari pulang jum’atan. Oh iya, waktu itu test nya ada dua
kategori, test mandiri dan juga test beasiswa. Saat itu aku mengikuti test
beasiswa. Yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba juga, buya sudah kembali lagi ke
pondok pesantren. Perasaan ku kembali lega, karena aku tidak merasa sendiri
lagi.
Bersambung...